Sekolah Inklusi dan Pendidikan EQ

Sabtu, 03 Juli 2010

Oleh: NURUL LATHIFFAH

AFEKSI, harapan, bangga, sekaligus optimisme semestinya kita tampakkan menyambut kebijakan pemerintah yang lebih humanis dan apresiatif dalam wilayah pendidikan. Akhir-akhir ini, pemerintah telah mulai memperhatikan aspek pendidikan untuk semua yang egaliter dan adil bagi para pembelajar bergelar anak berkebutuhan khusus (ABK). ABK bahkan memiliki kecerdasan berjuang (adversity intellegence) yang lebih mapan. Kita paham bahwa ABK yang berangkat dari keterbatasan fisiknya diarahkan oleh keadaan agar memiliki daya juang yang "ekstra" untuk dapat setara dengan anak-anak lainnya.

Diasumsikan bahwa ABK memiliki kapasitas intelektual yang bisa diandalkan. Hanya saja, keterbatasan fisik kadang membatasi kapasitas ABK untuk mendapatkan sejumlah informasi dan pengetahuan. Karenanya, ABK memang memerlukan perhatian yang lebih empatis sekaligus efektif. Pemerintah, memang cukup serius mengapresiasi ABK.

Terbukti dengan komitmen yang kuat bahwa pemerintah bersedia memberi support finansial kepada sekolah yang siap untuk menjadi sekolah inklusi. Sekolah inklusi ini, sesungguhnya tetap memiliki prasyarat penting, yakni siswa ABK yang menjadi bagian dari siswa tersebut memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan diprediksi memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas dan tantangan akademik. Asumsinya, sekolah inklusi dengan mekanisme persyaratan semacam itu akan mampu mendidik ABK secara lebih efektif.

Meskipun sisi positif dari sekolah inklusi ini sangat mengejutkan, dan bahkan dengan menggagas program ini pemerintah telah melakukan lompatan kebijakan yang lebih humanis dan "dewasa", namun nyatanya pihak sekolah masih ragu untuk menjadi pelopor sekolah inklusi. Tentu saja, ini bukan semata-mata mengisyaratkan eksklusivitas, meski ada kemungkinan ke arah sana. Akan tetapi, keputusan menjadi sekolah inklusi "takut" diambil karena tantangan yang tidak mudah, serta ketidaksiapan stake holder sekolah.

Tentu saja, ini menjadi semacam pertimbangan yang rasional dan manusiawi. Akan tetapi, sesungguhnya kita juga harus jujur, bahwa sekolah inklusi akan dapat diupayakan sampai sejauh upaya dan keyakinan kuat. Bukankah sekolah inklusi yang menjadi ikon pendidikan yang humanis dan apresiatif semestinya diupayakan oleh sekolah umum? Apalagi pemerintah telah bersedia memfasilitasi secara finasial. Selanjutnya, fasilitas itu dapat digunakan sebagai modalitas untuk menyediakan sarana sekolah inklusi yang transformatif dan "ramah".

Secara sangat samar, pertimbangan rasional sesungguhnya mengatakan bahwa program sekolah inklusi ini akan menjanjikan hal-hal positif bagi sekolah dan siswa, baik ABK maupun non-ABK. Sekolah inklusi, dengan konsepnya yang sangat empatis dan tolerance, serta banyak mengadopsi prinsip penerimaan positif tanpa syarat akan membangun sisi sisi empatis siswa non-ABK untuk dapat memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik. Bahkan, secara positif, sekolah inklusi menjanjikan pendidikan ESQ atau emotional spiritual quotient.

Sekolah inklusi memiliki peluang untuk dapat melakukan pendewasaan kecerdasan emosional karena sekolah inklusi mengajarkan penerimaan yang positif terhadap ABK. Siswa umum juga diajarkan secara alami untuk dapat memiliki kepekaan dan suatu hubungan yang empatis, hangat, dan fungsional dengan siswa ABK sehingga bangunan kecerdasan emosi siswa akan lebih kuat. Sekolah inklusi juga mampu menjadi jalur pembangkit kepekaan emosi yang mengarahkan individu --dalam hal ini siswa dan guru-- lebih peka secara emosi, dan memiliki penerimaan yang positif terhadap orang lain. (Penulis, aktivis Forum Kajian Psikologi Perkembangan Lasiper UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)**

sumber : http://www.klik-galamedia.com

0 komentar:

Posting Komentar