PENGUMUMAN PSB

Minggu, 04 Juli 2010

Pengumuman Hasil Seleksi PSB
SDN Percobaan Surabaya
Tahun Pelajaran 2010 - 2011
NO NOMOR
NO NOMOR
PESERTA
PESERTA
1 002-10
46 013-10
2 006-10
47 029-10
3 015-10
48 033-10
4 018-10
49 035-10
5 019-10
50 068-10
6 057-10
51 082-10
7 060-10
52 094-10
8 066-10
53 048-10
9 067-10
54 098-10
10 076-10
55 001-10
11 085-10
56 031-10
12 087-10
57 055-10
13 113-10
58 064-10
14 149-10
59 078-10
15 150-10
60 020-10
16 152-10
61 017-10
17 153-10
62 014-10
18 037-10
63 010-10
19 041-10
64 081-10
20 047-10
65 130-10
21 049-10
66 028-10
22 079-10
67 134-10
23 105-10
68 015-10
24 119-10
69 038-10
25 121-10
70 147-10
26 124-10
71 054-10
27 126-10
72 059-10
28 095-10
73 070-10
29 159-10
74 089-10
30 040-10
75 125-10
31 053-10
76 138-10
32 108-10
77 023-10
33 118-10
78 128-10
34 080-10
79 161-10
35 025-10
80 162-10
36 106-10
81 077-10
37 008-10
82 111-10
38 024-10
83 144-10
39 050-10
84 103-10
40 074-10
85 090-10
41 101-10
86 120-10
42 131-10
87 148-10
43 004-10
88 155-10
44 073-10
89 145-10
45 012-10
90 071-10

Pendidikan Anak

Pendidikan Anak

Sebagai orang tua kita ingin memberikan pendidikan yang terbaik pada anak-anak kita. Dan hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, memilihkan sekolah yang baik buat anak-anak kita.

Saat memasukan anak-anak kita ke playgroup berbeda dengan TK, karena yang diutamakan adalah beradaptasi/sosialisasi dengan teman sebayanya disamping ada tujuan lain diantaranya :

*
bermain & bersenang-senang, sharing, merasakan "menang dan kalah", melatih kreatifitas anak, melatih motorik kasarnya, mempersiapkan anak agar pada saat masuk TK sudah tidak lagi susah dalam bergaul / beradaptasi dengan guru serta teman-temannya..

Untuk pertimbangan pemilihan TK diantaranya adalah :

* Agama, mencari sekolah yang sesuai dengan agama karena pelajaran agama harus sudah dikenalkan kepada anak dari sejak dia dalam kandungan Ortua & juga sejak dia sudah mengetahui/ mengenal agamanya. Atau mencari sekolah yang tidak berdasarkan agama tertentu sehingga diharapkan anak menyadari dan mengetahui adanya perbedaan agama, perbedaan ras dan anak dapat bersikap sopan terhadap yang lain dan anak sadar akan identitas dirinya tetapi juga luwes bergaul dengan mereka yang berbeda dari dirinya.

* Lokasi, dekat dengan rumah karena anak masih kecil, mudah untuk diantar dan dijemput. Jika terpaksa memilih sekolah yang letaknya jauh dari rumah, pengunaan bis sekolah dapat dipertimbangkan. Bis sekolah dapat melatih anak untuk mandiri dan bersosialisai dengan teman–teman yang berada dalam bis tersebut apalagi jika kedua orang tua bekerja dan tidak ada yang dapat mengantar dan menjemput, tetapi jika mengunakan bis sekolah anak akan berada terlalu lama dalam bis sekolah.

* Kurikulum, mutu pendidikan, kemampuan guru, dan sekolah tidak mematikan kreatifitas anak, dimana anak tidak dituntut untuk mengikuti kehendak gurunya.

* Biaya, dengan biaya yang tidak terlalu mahal dan kualitas yang tidak mengecewakan.

Saat anak memasuki sekolah yang lebih tinggi SD, SMP, SMA pertimbangan mutu sekolah, disiplin sangat diutamakan, kemudian kita berpikir untuk memasukan anak-anak kita pada sekolah swasta sesuai dengan agama atau pertimbangan lainya. Sekolah swasta memiliki fasilitas lebih dari sekolah negeri, dan guru yang selalu membimbing, mengarahkan dapat mudah ditemui, dengan bayaran yang tinggi sekolah swasta hanya dapat dinikmati golongan tertentu yang akhirnya tidak ada perbedaan yang mencolok. Berbeda dengan sekolah negeri yang miskin akan fasilitas, guru yang terkadang tidak ditempat, sehingga murid "dipaksa" untuk mampu mandiri dan belajar sendiri, dan banyak keanekaragaman murid. Kebanyakan dan disadari atau tidak, memilih sekolah terkadang merupakan obsesi dari orang tua & rasa cinta Almamater.

Pendidikan anak bukan hanya disekolah saja, tetapi dirumah dan di masyarakat sekitar kita. Sebagai orangtua hanya berusaha membangun fondasi yang kuat untuk mereka termasuk mental-spiritual dan kita harus dapat menjadi teladan yang baik untuk anak kita.

Sebagai orangtua sebaiknya tidak hanya memikirkan IQ anak saja tetapi kita berusaha membentuk keseimbangan antara IQ dan EQ (kecerdasan emosional seseorang yang dipengaruhi oleh lingkungan), karena dengan EQ tinggi anak diharapkan dapat survive dalam segala masalah hidup walaupun anak itu hanya memiliki IQ yg rendah, dia mampu menghadapai kegagalan dan belajar mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut. Pada seseorang yang memiliki EQ rendah sedangkan berIQ tinggi, atau di atas rata - rata akan mempunyai kecendrungan untuk sulit menguasai emosi.

Apapun usaha dan harapan orangtua pada anak hrus diingat bahwa itu adalah kehidupan anak bukan milik kita, maksud kita ingin anak kreatif dan mandir tetapi sudah ngatur semua masa depannya.

sumber : http://www.dunia-ibu.org/

Sekolah Inklusi dan Pendidikan EQ

Sabtu, 03 Juli 2010

Oleh: NURUL LATHIFFAH

AFEKSI, harapan, bangga, sekaligus optimisme semestinya kita tampakkan menyambut kebijakan pemerintah yang lebih humanis dan apresiatif dalam wilayah pendidikan. Akhir-akhir ini, pemerintah telah mulai memperhatikan aspek pendidikan untuk semua yang egaliter dan adil bagi para pembelajar bergelar anak berkebutuhan khusus (ABK). ABK bahkan memiliki kecerdasan berjuang (adversity intellegence) yang lebih mapan. Kita paham bahwa ABK yang berangkat dari keterbatasan fisiknya diarahkan oleh keadaan agar memiliki daya juang yang "ekstra" untuk dapat setara dengan anak-anak lainnya.

Diasumsikan bahwa ABK memiliki kapasitas intelektual yang bisa diandalkan. Hanya saja, keterbatasan fisik kadang membatasi kapasitas ABK untuk mendapatkan sejumlah informasi dan pengetahuan. Karenanya, ABK memang memerlukan perhatian yang lebih empatis sekaligus efektif. Pemerintah, memang cukup serius mengapresiasi ABK.

Terbukti dengan komitmen yang kuat bahwa pemerintah bersedia memberi support finansial kepada sekolah yang siap untuk menjadi sekolah inklusi. Sekolah inklusi ini, sesungguhnya tetap memiliki prasyarat penting, yakni siswa ABK yang menjadi bagian dari siswa tersebut memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan diprediksi memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas dan tantangan akademik. Asumsinya, sekolah inklusi dengan mekanisme persyaratan semacam itu akan mampu mendidik ABK secara lebih efektif.

Meskipun sisi positif dari sekolah inklusi ini sangat mengejutkan, dan bahkan dengan menggagas program ini pemerintah telah melakukan lompatan kebijakan yang lebih humanis dan "dewasa", namun nyatanya pihak sekolah masih ragu untuk menjadi pelopor sekolah inklusi. Tentu saja, ini bukan semata-mata mengisyaratkan eksklusivitas, meski ada kemungkinan ke arah sana. Akan tetapi, keputusan menjadi sekolah inklusi "takut" diambil karena tantangan yang tidak mudah, serta ketidaksiapan stake holder sekolah.

Tentu saja, ini menjadi semacam pertimbangan yang rasional dan manusiawi. Akan tetapi, sesungguhnya kita juga harus jujur, bahwa sekolah inklusi akan dapat diupayakan sampai sejauh upaya dan keyakinan kuat. Bukankah sekolah inklusi yang menjadi ikon pendidikan yang humanis dan apresiatif semestinya diupayakan oleh sekolah umum? Apalagi pemerintah telah bersedia memfasilitasi secara finasial. Selanjutnya, fasilitas itu dapat digunakan sebagai modalitas untuk menyediakan sarana sekolah inklusi yang transformatif dan "ramah".

Secara sangat samar, pertimbangan rasional sesungguhnya mengatakan bahwa program sekolah inklusi ini akan menjanjikan hal-hal positif bagi sekolah dan siswa, baik ABK maupun non-ABK. Sekolah inklusi, dengan konsepnya yang sangat empatis dan tolerance, serta banyak mengadopsi prinsip penerimaan positif tanpa syarat akan membangun sisi sisi empatis siswa non-ABK untuk dapat memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik. Bahkan, secara positif, sekolah inklusi menjanjikan pendidikan ESQ atau emotional spiritual quotient.

Sekolah inklusi memiliki peluang untuk dapat melakukan pendewasaan kecerdasan emosional karena sekolah inklusi mengajarkan penerimaan yang positif terhadap ABK. Siswa umum juga diajarkan secara alami untuk dapat memiliki kepekaan dan suatu hubungan yang empatis, hangat, dan fungsional dengan siswa ABK sehingga bangunan kecerdasan emosi siswa akan lebih kuat. Sekolah inklusi juga mampu menjadi jalur pembangkit kepekaan emosi yang mengarahkan individu --dalam hal ini siswa dan guru-- lebih peka secara emosi, dan memiliki penerimaan yang positif terhadap orang lain. (Penulis, aktivis Forum Kajian Psikologi Perkembangan Lasiper UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)**

sumber : http://www.klik-galamedia.com

Menyekolahkan Anak Terlalu Dini

Assalamu'alaykum Warohmatullahi Wabarakatuh
Saya mau menanyakan tentang anak perempuan saya yang nomor satu dari dua bersaudara. Tahun ajaran baru nanti anak saya berumur 4 tahun 2 bulan. Inginnya anak saya mau dimasukkan ke Sekolah Dasar. Sebagai catatan, anak saya sudah terampil/lancar dalam membaca latin dan hitung-hitungan dasar, juga sudah lancar baca Al-Qur'an dengan hafalan 1 juz (juz 30). Motorik cukup bagus dalam hal mewarnai, memperhatikan gambar dengan maksudnya dan lain-lain. Semangat belajar anak tinggi, tiada hari tanpa pegang buku, baik sekedar membaca, mewarnai, mengerjakan soal perhitungan dan lain-lain. Kemandirian cukup untuk anak seusianya.
Setelah saya cari-cari informasi SD-IT yang bisa menerima, ada SD-IT yang mau menerima murid seusia anak saya.
Yang menjadi pertanyaan saya, secara psikologis anak saya sudah siap belum untuk berada di komunitas baru dengan teman-teman yang berumur dua atau tiga tahun di atasnya?
Pertimbangan saya memilih memasukkan ke SD bukan ke Play Group atau Taman Kanak-kanak adalah saya khawatir anak saya cepat bosan atau jenuh. Karena tipe anak saya, dia sering "ngeyel" dan tidak terima kalau merasa sudah bisa kemudian diajari.
Demikian pertanyaan saya, atas tanggapan dan jawabannya saya sampaikan ucapan terima kasih.
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Hendry
Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Pak hendry yang dimuliakan ALLOH, berdasarkan pengalaman saya berkecimpung di dunia pendidikan selama 13 tahun, anak-anak yang dimasukkan sekolah terlalu dini, ketika masih usia pembelajaran dibawah 8 tahun tidak masalah, karena sampai kelas 2 SD pelajaran masih ringan dan cenderung mengulang-ulang pelajaran di TK dan SD kelas 1. Intinya masih sebatas calistung (membaca, menulis dan berhitung), maka saya jamin anak bapak akan bisa mengikuti dan cukup enjoy. Dan pada seumuran anak kelas 1 dan 2, kawan-kawan anak bapak, belum berfikir macam-macam, jadi anak bapak tidak akan menjadi masalah bila bergaul dengan mereka. Perbedaan akan semakin besar bila anak bapak sudah semakin dewasa, karena itu anak bapak saya khawatir jiwanya tidak sama berkembang dengan anak sekelasnya bahkan ketika anak-anak lain sudah mengalami aqil balik, maka anak bapak 'terpaksa’ akan menjumpai kawan-kawan sekelasnya yang dia merasa ‘aneh.’ Saran saya pak, demi perkembangan jiwa anak bapak ketika saatnya nanti, biarkanlah dia berkembang sesuai dengan umurnya, mengenai kecerdasan yang dimiliki, ada baiknya bapak masukkan ke sekolah yang memiliki akselerasi program-program percepatan dan anak bapak selain mengkuti program percepatan juga memiliki teman-teman yang sama.
Saya punya beberapa pengalaman, mengenai anak yang usianya tidak sesuai dengan kelasnya, biasanya mereka menjadi korban bullying atau menjadi pelaku bullying (menjadi pelaku, untuk menutupi kekurangan yang dia rasakan, intinya daripada dijadikan korban ejekan lebih baik membuat dirinya ditakuti).
wallohu’alam bishowab, semoga bapak dan ibu mendapatkan pencerahan yang lebih baik bagi perkembagan anak anak bapak.
Salam sayang untuk ananda.
Wassalamu'alaykum Wr. Wb.

Peran Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkelainan

Oleh Drs Sukadari SE MM

Edisi 142

PENGERTIAN tentang Pendidikan Inklusi belum banyak disosialisasikan apalagi tentang bentuk Pelaksanaan dan Sistem Pendidikan tersebut, karena merupakan hal baru. Pendidikan Inklusi sebenarnya merupakan model Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkautan. Latar belakang mucnulnya pendidikan inklusi ini karena terbatasnya Sekolah luar Biasa (SLB) atau Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang masih sangat terbatas jumlahnya dan sebatas tempat tertentu yaitu baru di tingkat Kecamatan, itupun milik swasta, sementara yang SLB Negeri berada di tingkat Kabupaten.

Sementara menurut data Penyandang Cacar dari Direktorat PLB baru sekitar 5 % yang bersekolah. Hal ini terjadi karena lokasi SLB dan SDLB yang sulit dijankau karena terbatasnya jumlah sekolah yang ada.Oleh karena itu Pemerinntah mengambil kebijakan untuk menyelenggarakan Pendidikan Inklusi dengan tujuan memberikan kesempatan bagi anak untuk menngembangkan kemampuan yang dimiliki seoptimal mungkin.

Tidak kalah pentinganya adalah untuk memudahkan layanan pendidikan anak cacat yan keberadaannya menyebar di berbagai daerah pedesaaan atau pelosok yang tidak berkesempatan sekolah di SLB. Memberi kesempatan kepada anak cacat untuk berintegarasi dengan anak normal baik d dalam mengikuti pendidikan maupun adaptasi dengan lingkungannya sangat diperlukan, karena dasar dari pelaksanaan Pendidikan Inklusi sangat jelas yaitu UUD 1945, UU No. 29 Tahun 2003, juga dijelaskan pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacar, PP No. 72 Tahun 1991 tentang PLB dan SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.

Dalam menangani anak berkelainan diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolajh namun dapat diikuti oleh anak cacat, missal anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memehami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya.

Di samping membutuhkan guru khusus, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dnegan harapan anak cacat tersbut dapat diperlalukan secara wajar.

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum. Kenyataan di lapangan memerlukan sarana yang cukup, misalnya gedung sekolah dengan menyesuaikan kondisi anak. Peralatan pendidikan yang memadai, contoh bagi tuna netra perlu alat tulis Braille, tuna rungu perlu alat Bantu dengar, tuna daksa perlu kursi roda dan masih banyak lagi fasilitas yang harus disediakan dengan harapan anak cacat dapat berkembang kemampuannya secara optimal.

Mengingat mahalnya fasilitas yang harus disediakan maka sampai tahun 2005, di seluruh Indonesia baru ada 504 Sekolah Inklusi yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Sebenarnya cukup banyak sekolah regular yang mengajukan menjadi Sekolah Inklusi, yakni 1200 sekolah, sedang yang dilaksanakan baru 504 sekolah dan yang lain perlu dipelajari kesiapan karena konsekuensinya Pemerintah memebrikan subsidi Rp. 5 juta di setiap sekolah dan fasilitas lain sebagai penunjang kegiatan bagi anak yang cacat tersebut.

Keberadaan anak cacat (diffable) tak lepas dari peran serta tenaga ahli. APabila Pendidikan Inklusi benar-benar diselenggarakan secara ideal setiap sekolah harus ada, sebab tanpa pengawasan dan penanganan secara khusus dapat erakibat fatal. Suatu contoh : anak cerebral Palsy (jenis tuna dasa) perlu dokter syaraf, orthopedic dan psikolog, sebab anak seperti ini memerlukan ketenangan jiwa sehingga mampu menjaga kondisi yang prima. Belum lagi cacat yang lain.

Konsekuensi dari penyelenggaraan program ini harus embutuhkan biaya yang mahal, sehingga idealnya pemerintah mengambil peran agar benar-benar pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Untuk menopang suksesnya penyelenggaraan Pendidikan Inklusi perlu kerjasama dengan semua pihak mengingat kemampuan Pemerintah untuk membantu masih sangat terbatas sementara anak cacat yang belum tertampung mengikuti pendidikan formal semakin banyak sehingga dapat menjadikan kendala suksesnya Wajar 9 Tahun.

Keterpaduan kerjasama sangat mendesak sehingga pemerintah tak perlu menunggu waktu lama dengan alasan dana pendidikan terbatas. Alokasi 20 % masih sangat jauh dan sebagainya. Namun, memfungsikan beberapa unsur terkait dapat mengalokasikan program ini. Apabila di sekolah-sekolah umum kekurangan guru khusus dapat mengangkat lulusan SGPLB dan S1 PLB atau mengoptimalkan guru-guru khusus di sekolah terpadu dengan system guru kunjung.

Tentang masalah tenaga ahli dapat kerjasama dengan puskesmas atau rumah sakit terdekat dengan cara menjalin kerjasama antara departemen atau institusi dengan diperluas adanya SKB (Surat keputasan Bersama) para pejabat pemerintah.

Pendidikan Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus (segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah menyelenggarakan dan mengembangkan program ini.

Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan penyelenggaraan Sekolah Inklusi , bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium sekolah dan nara sumber bagi guru0guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi.

Munculnya sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan antara lain : 1) keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak normal; 2) lingkungan mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan diskriminasi; 3) memberi kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak cacat pun mampu seperti anak pada umumnya; 4) anak yang berkelainan akan belajar meerima dirinya sebagaimana adanya dan juga tidak menkadi asing lagi di lingkungannya; 5) aktivitas yang mungkin dapat diikuti anak cacat ada kesempatan untk berpartisipasi sehingga dapat menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak normal; dan 6) membutuhkan pegangan diri yaitu dnegan belajar secara kompetitif, eksistensi anak caat akan teruji dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya.

Penyelenggaraan tersebut pada hakekatnya memebrikan kesempatan yang sama setiap peserta didik dalam mengikuti pendidikan denganSistem Persekolahan Reguler sesuai dengankebutuhan individunya tanpa membedakanlatar belakang agama, budaya, social, sekonomi maupun suku. Namun menngharap anak manusia yang berkualitas sekalipun cacat.

Sungguh merupakan harapan kita semua Program Penyelenggaraan Sekolah Inklusi ini dapat terlaksana dengan baik atas dasar kepedulian Pemerintah dan kepedulian kita bersama. ***

(Penulis adalah Dosen Negeri DPK pada STKIP Catur Sakti Yogyakarta,

Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan STKIP Catur Sakti Yogyakarta,

Mahasiswa S3 Prodi Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.)


sumber : http://www.madina-sk.com/

Dilema Pendidikan Inklusi

Seorang sahabat yang berprofesi sebagai guru di sebuah SMU Negeri di Surabaya bercerita pada saya bahwa dia merasa sangat kesulitan untuk menerangkan mata pelajaran kimia kepada salah satu siswanya yang tuna netra di kelasnya. Di satu sisi dia merasa sangat kesulitan dan sepertinya hampir putus asa, namun di sisi lain dia merasa bahwa tanggungjawabnya adalah mencerdaskan seluruh siswanya tanpa terkecuali termasuk siswa difabel. Sahabat saya tersebut kemudian terus berusaha untuk menemukan cara yang tepat guna mengajarkan ilmu kimia kepada salah satu siswanya yang tuna netra. Sementara siswa tuna netra tersebut semakin merasa tersisih dari proses belajar dalam kelas tersebut karena kebutuhannya informasi yang cukup tidak terakomodasi dengan metode belajar yang dilakukan.

Sebenarnya fenomena di atas tidak perlu terjadi jika sistem pendidikan inklusi dipersiapkan dengan lebih matang. Tahapan – tahapan tersebut antara lain; sosialisasi, persiapan sumber daya (preparing resources), dan uji coba (try out) metode pembelajaran. Sosialisasi pendidikan inklusi dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang maksud dan tujuan pendidikan inklusi kepada tenaga pengajar, siswa, dan orang tua. Fungsi sosialisasi sangat penting untuk membangun pra kondisi lingkungan sekolah dan juga kesiapan mental baik bagi siswa maupun para guru.Tahap selanjutnya adalah mempersiapkan sumber daya yang menyangkut kesiapan peralatan peraga untuk simulasi dan kesiapan ketrampilan tenaga pelaksana pendidikan. Kelengkapan peraga untuk pendidikan inklusi memang lebih kompleks dibanding dengan alat peraga ajar yang umum digunakan. Sehingga dituntut kreatifitas dari guru untuk melakukan simulasi proses belajar mengajar. Sementara persiapan tenaga pelaksana pendidikan adalah dengan melakukan pelatihan (training) tentang beberapa metode pelaksanaan pendidikan inklusi kepada para guru.

Jika kedua langkah tersebut telah dilaksanakan maka langkah terakhir adalah melakukan uji coba metode pendidikan inklusi pada sekolah yang ditunjuk. Uji coba dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas metode yang digunakan sekaligus untuk melakukan evaluasi sehingga dapat dicari solusi tepat untuk melakukan perbaikan jika ditemukan kekurangan. Ketika ketiga langkah tersebut sudah terlaksana dengan baik, maka pendidikan inklusi mulai dapat diaplikasikan pada sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project.

Subtansi Pendidikan Inklusi

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.

Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.

Dilema

Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusinya pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan inklusi bagi kelompok difabel.

Beberapa kasus muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.

Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.

Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.

sumber : http://cakfu.info/2008/07/dilema-pendidikan-inklusi/

PROBLEM BASED LEARNING untuk GIFTED CHILD?

Minggu-minggu ini kami sibuk hunting sekolah lanjutan untuk Entong anakku semata wayang.

Sebelum kuceritakan lebih lanjut model sekolah gifted untuk sekolah lanjutan di Belanda ini, kuceritakan dahulu model pendekatan pendidikan anak-anak gifted SD.

Pendidikan sekolah dasar di Belanda menganut dua system, yaitu sekolah regular – dan sekolah khusus (SLB). Sekolah reguler Belanda menganut sistem pendidikan dengan pendekatan adaptif, yaitu memberikan perhatian pada keunikan setiap anak dan tawaran pendidikan harus sesuai dengan kebutuhan anak. Dengan demkikian ia melayani pendidikan inklusi, yaitu menerima anak-anak special needs belajar bersama dengan anak-anak “nonmal” lainnya. Special needs yang diterima si SD reguler ini adalah: ADHD, Austime spectrum disorder, Gifted, dan Disleksia. Sekalipun ke empat bentuk special needs itu sudah ada UU nya bahwa ia boleh masuk dalam sekolah reguler, pihak sekolah juga masih menerima anak-anak Down Syndrom, cacat primer seperti tuli ( yang sudah terlatih dengan hearing aids) dan gangguan penglihatan. Juga anak-anak dengan inteligensia borderline.

Mereka yang special needs akan mendapatkan metoda pendidikan khusus dan layanan kebutuhan pembelajaran khusus. Misalnya yang disleksia akan mendapatkan remedial teaching, kompensasi waktu (lebih lama) dan fasilitas lain seperti pita rekaman saat harus membaca, reading pen, dan komputer. Bagi yang mengalami gangguan motorik halus tidak bisa menulis dengan baik, maka ia boleh menggunakan komputer. Bagi anak yang mengalami gangguan cacat primer seperti gangguan pendengaran dan penglihatan, juga diberi kemudahan fasilitas. Untuk anak-anak gifted juga dilayani giftednessnya dengan memberikan pengkayaan, percepatan, dan pendalaman.

Semua anak dalam sekolah reguler ini haruslah mempunyai inteligensia normal ke atas. Pendekatan pendidikan yang diutamakan adalah pendekatan keharmonisan tumbuh kembang. Karena itu untuk anak-anak gifted lebih diutamakan masuk ke sekolah reguler bukan sekolah khusus anak gifted. Kelak saat di sekolah lanjutan anak-anak ini akan masuk ke dalam sekolah khusus. Walaupun begitu ada tiga bentuk sekolah untuk anak-anak gifted ini di tingkatan sekolah lanjutan.

1) Model sekolah yang menempatkan anak-anak gifted bersama anak-anak lain hingga dua tahun lamanya (dg pendekatan inklusi), baru di tahun ke tiga ia dipisahkan masuk sekolah khusus (gymansium & athenium). Bentuk sekolah bersama-sama sampai dua tahun disebut brugklas (kelas jembatan).


2) Model sekolah yang langsung dari sekolah dasar masuk ke sekolah khusus gifted, disebut gymnasium dan athenium. (Gymnasium menekankan pada bahasa dan ilmu2 sosial, athenium menekankan pada sains dan matematika). Atau kombinasi keduanya.


3) Model sekolah khusus gifted Xtra. Bentuk ini adalah model baru yang tengah dikembangkan oleh pemerintah Belanda, dengan pendekatan teori multifactor dari Kurt Heller (lihat: TEORI GIFTEDNESS ) .
Artinya ada delapan bidang ketrampilan yang perlu pengolahan. Mana yang terkuat dikembangkan, mana yang lemah dibantu agar bisa juga berkembang. Karena setiap anak dianggap mempunyai keunikan individu, maka dalam satu kelas dibuka system pendidikan yang sangat berdiferensiasi dalam materi. Untuk masuk kesini ditutut anak-anak dengan kecepatan pikir, kreativitas dan ketahanan yang tinggi.
Pelajaran diberikan secara mandiri, individual, dan menggunakan pendekatan problem based learning.

Problem based learning di Belanda dikenal sebagai pendidikan dengan pendekatan projek (project onderwijs). Kepada anak-anak ini diberi tugas yang harus dipecahkan melalui riset, kepustakaan, dan melaporkannya dalam bentuk makalah. Pokok bahasan, mereka boleh memilih sendiri mana yang menjadi minatannya. Jadi disini juga ditekankan pada konsep kebebasan, kemandirian, tetapi harus bertanggung jawab akan keberhasilan tugas. Dengan begitu dituntut ketahanan kerja yang tinggi.

Secara teoritis pendekatan model seperti ini (no 3) adalah pendekatan yang paling ideal untuk seorang anak gifted yang memang selalu mendahulukan berpikir secara konsep. Ia bisa langsung menyalurkan pemikiran-pemikirannya.


Melihat kenyataan no 3, sebagai orang tua anak-anak gifted, pada awalnya banyak yang tertarik pada pendekatan seperti ini. Ideal.
Namun melihat kenyataan lagi, bahwa anak-anak gifted adalah populasi yang beragam. Keragaman bisa terjadi sebagai akibat dari banyak hal. Bisa dilihat lagi Konsep giftedness Kurt Heller.

Semakin tinggi inteligensia si anak, akan juga terjadi ketidak sinkronan perkembangan. Ada yang perfeksionisme luar biasa akibatnya menekan potensi kreativitasnya. Ada yang sangat kreatif tetapi kurang presisi karena perfeksionismenya dihantam oleh kreativitasnya. Ada yang kadang perfek kadang kreatif sehingga susah ditebak…

Ada yang terfokus pada satu masalah, masalah lain tidak digubris.

Berbagai masalah disinkronitas ini akan mewarnai bagaimana ia dapat bekerja dalam sebuah proyek problem based learning, bagaimana reaksi anak-anak ini dalam bekerja? Bisa diperkirakan. Bagaimanapun ia seorang anak gifted tetap membutuhkan bimbingan terstruktur dan kombinasi kekebasan. Menurutku kebebasan dengan menekankan pada tanggung jawab, tetapi tanpa struktur sama sekali ... ah... saya masih tidak tega. Bagaimana dengan masalah adiministrasinya? Sekalipun ada portfolio pasti repot banget...Karena setiap anak mempunyai pekerjaan yang berbeda...

sumber : http://kelas-inklusi.blogspot.com/